RUKUN NIKAH
Diantara perkara
syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan
dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya
hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa
iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang
kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
a. Syarat mempelai pria :
• Beragama Islam
• Tidak ada paksaan
• Tidak beristeri empat orang
• Bukan mahram mempelai wanita
• Tidak memiliki isteri yang haram dimadu dengan calon mempelai wanita
• Calon isteri tidak haram dinikahi
• Tidak sedang ihram haji atau umrah
• Cakap melakukan hokum rumah tangga
• Tidak ada halangan pernikahan
• Tidak ada paksaan
• Tidak beristeri empat orang
• Bukan mahram mempelai wanita
• Tidak memiliki isteri yang haram dimadu dengan calon mempelai wanita
• Calon isteri tidak haram dinikahi
• Tidak sedang ihram haji atau umrah
• Cakap melakukan hokum rumah tangga
• Tidak ada halangan pernikahan
b.
Syarat mempelai wanita :
• Wanita (bukan banci)
• Beragama islam
• Memberi ijin kepada wali untuk dinikahkan
• Tidak bersuami atau dalam masa iddah
• Bukan mahram mempelai pria
• Belum pernah di li’an oleh calon suami
• Jelas orangnya
• Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
• Tidak ada halangan pernikahan
• Beragama islam
• Memberi ijin kepada wali untuk dinikahkan
• Tidak bersuami atau dalam masa iddah
• Bukan mahram mempelai pria
• Belum pernah di li’an oleh calon suami
• Jelas orangnya
• Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
• Tidak ada halangan pernikahan
Ijab yaitu suatu pernyataan berupa
penyerahan diri seorang wali perempuan atau wakilnya kepada seorang laki-laki
dengan kata-kata tertentu maupun syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh
syara’.Adapun syara’ menurut ulama ushul ialah
doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf
yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau
diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir).Sedangkan menurut ulama
fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan
seperti wajib, haram dan mubah.
Qabul yaitu suatu pernyataan penerimaan
oleh pihak laki-laki terhadap pernyataan wali perempuan atau wakilnya
sebagaimana yang disebut di atas.
Ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul
sebagai rukun perkawinan. Untuk sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan
beberapa syarat. Diantara syarat yang telah disepakati oleh ulama
adalah sebagai berikut :
1)
Akad harus dimulai dengan
ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan
kepada pihak laki-laki. Seperti ucapan wali pengantin perempuan: “saya nikahkan
anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-quran”. Qabul
adalah penerimaan dari pihak laki-laki. Seperti ucapan mempelai laki-laki:
“saya terima nikahnya anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab
Al-quran.
2)
Materi dari ijab dan
qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk
mahar yang disebutkan.
3)
Ijab dan qabul harus diucapkan
secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
4)
Ijab dan qabul tidak
boleh menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masaberlangsungnya
perkawinan, karena perkawinan ditujukan untuk selama hidup.
5)
Ijab dan qabul harus
menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. Tidak boleh menggunakan ucapan
sindiran, karena untuk penggunaan lafaz sindiran itu diperlukan niat, sedangkan
saksi yang hadir dalam perkawinan itu tidak akan dapat mengetahui apa yang
diniatkan oleh seseorang.
karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَنِكَاحَإِلاَّبِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali
An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albanirahimahullahu dalam Al-Irwa` no.
1839)
Apabila
seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya
batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan
pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih.Diriwayatkan hal ini dari
‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Demikian pula pendapat yang
dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz,
Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak,
Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti
ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada,
karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri
ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan
nikahnya kepada selain walinya.
a. Definisi Wali
Nikah
Yang dimaksud
dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai
perempuan dalam suatu akad nikah. Keberadaan seorang wali dalam akad nikah
adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh
wali. Wali itu ditetapkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan
ulama secara prinsip.
Dalam
akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang
yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai oarng yang
diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
b. Susunan Wali
Tidak ada dalil yang
menyebutkan siapa yang paling berhak menjadi wali nikah bagi anak
perempuan.Para ulama ada yang bersepakat dan ada pula yang berselisih berkaitan
dengan siapa yang paling dekat dengan anak perempuan tersebut dikarenakan tidak
adanya dalil yang merincikannya. Allah berfirman :
آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا
Artinya
:"(Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu." (QS An-Nisa : 11)
Pendapat yang paling kuat -wallahu a'lam-
yaitu yang mengatakan bahwa ayah kandung perempuan tersebut adalah orang yang
paling berhak menjadi wali bagi anaknya, kemudian setelah ayah adalah kakek
dari ayah tersebut. beginilah dalam madzhab Syafi'i, Hambali dan riwayat dari
Imam Malik.
Adapun setelah ayah dan kakek adalah anak-anak
laki-laki perempuan tersebut, kemudian anak laki-laki dari anak-anaknya jika
ada, kemudian saudara-saudara laki-laki se-ayah dan se-ibu, kemudian
saudara-saudara laki-laki se-ayah, kemudian anak laki-laki dari saudaranya
se-ayah dan se-ibu, kemudian anak laki-laki dari saudaranya se-ayah, kemudian
paman-pamannya (dari ayah), dan kemudian anak laki-laki dari pamannya.
Untuk
lebih jelasnya, berikut adalah urutan kerabat yang berhak menjadi wali
nikah bagi perempuan :
1.
Ayah
kandung.
2.
Kakek
(dari ayah).
3.
Anak
laki-laki (perempuan tersebut).
4.
Anak
laki-laki dari anak laki-lakinya (cucu perempuan tersebut).
5.
Saudara
laki-laki se-bapak dan se-ibu.
6.
Anak
laki-laki dari saudara se-bapak dan se-ibu.
7.
Saudara
laki-laki se-bapak.
8.
Anak
laki-laki dari saudara se-bapak.
9.
Paman
(dari ayah).
10. Anak laki-laki dari paman.
11. Hakim.
c. Macam- Macam Wali dalam Islam
1. Wali Nasab.
Wali nasab artinya
anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai
hubungan darah dengan calon mempelai perempuan. Wali mujbir yaitu wali nasab
yang berhak memaksakan kehendaknya untuk menikahkan calon mempelai perempuan
tanpa meminta izin kepada wanita yang bersangkutan, hak yang di miliki oleh
mujbir di sebut dengan hak ijbar. Wali yang memiliki hak ijbar ini menurut imam
syafi'ie hanya ayah, kakek dan seterusnya keatas.
Dalam menetapkan
wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini
disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran
tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yang berhak menjadi
wali. Jumhur ulama membaginya menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada
kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan
dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis
kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan
cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
a)
Saudara laki-laki
kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
b)
Saudara laki-laki seayah,
kalau tidak ada pindah kepada.
c)
Anak saudara laki-laki
kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
d)
Anak saudara laki-laki
seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
e)
Paman kandung, kalau
tidak ada pindah kepada.
f)
Paman seayah, kalau tidak
ada pindah kepada.
g)
Anak paman kandung, kalau
tidak ada pindah kepada.
h)
Anak paman seayah,
i)
Ahli waris kerabat lainya
kalau ada.
2. Wali Hakim
Wali hakim adalah
wali nikah yang di tunjuk oleh mentri agama / pejabat yang di tunjuk olehnya,
yang di beri hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah, tetapi
wewengan wali nasab berpindah ketangan wali hakim apabila;
a.
ada pertentangan di
antara para wali itu
b.
Bilamana wali nasab
tidak ada atau ada tetapi tidak mungkin mengadirkannya, atau tidak di ketahui
tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal/enggan. Wali adlal adalah wali yang
enggan menikahkan wanita yang telah baligh dan berakal dengan seorang laki-laki
pilihannya.
Syari'at islam
menetapkan adanynya wali hakim ini adalah untuk menghadirkan kesukaran
pelaksanaan suatu pernikahan, sedangkan pernikahan itu meurpakan kebutuhan dan
pelaksanaan pernikahan itu adalah wajar karena wanita itu ingin di nikahkan
kepada seoarang laki-laki yang sepadan dan sanggup membanyar mahar mitsil,
sedangkan wali nasab tidak ada, atau tidak mau menikahkannya , apabila kedua
calon mempelai tidak mau menunda pernikahannya sampai ada wali nasab, maka
hakimlah yang bertindak sebagai wali nikah, sebab ada hadits yang isinya tidak
dapat menunda masalah nikah ini manakala sudah wajar.
d. Syarat-syarat
Wali
Orang-orang yang
berhak menempati kedudukan wali itu harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.
Sudah dewasa (baligh) dan
berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang gila tidak berhak menjadi
wali.
b.
Laki-laki. Tidak boleh
perempuan menjadi wali.
c.
Muslim, tidak sah orang
yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
d.
Orang merdeka.
e.
Tidak berada dalam
pengampunan atau mahjur alaih. Alasanya ialah bahwa orang yang berada di bawah
pengampunan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Kedudukanya sebagai
wali merupakan suatu tindakan hukum.
f.
Tidak sedang melakukan
ihram.
g.
Berpikiran baik. Oarang
yang terganggu pikiranya karena ketuaannya tidak boleh menjadi wali, karena
dikawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.
Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam
arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan
selama wali nasab yang lebih dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak
dapat menjadi wali.
Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab
yang qaarib. Bila wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal,
islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali
ab’ad menurut urutan di atas.
Saksi
bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan.Oleh karena itu, tidak
semua orang dapat diterima menjadi saksi, tetapi hendaklah
orang-orang yang memiliki
beberapa sifat berikut :
1.
Islam
2.
Baligh (sudah berumur sedikitnya 15 tahun)
3.
Berakal
4.
Merdeka
5.
Laki-laki, karena tersebut dalam hadist Ibnu
Majah dan Daruqutni
6.
Adil
Oleh karena itu,
tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Saksi dalam pernikahan harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a) Saksi
harus berjumlah paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh
jumhur ulama.
b) Kedua saksi
itu beragama islam.
c) Kedua
orang saksi adalah orang yang merdeka.
d) Kedua saksi
itu adalah orang laki-laki.
e) Kedua
saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak
selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah (sopan santun).
f) Kedua
saksi itu dapat mendengar dan melihat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar