Sabtu, 02 November 2013

Rukun Nikah

RUKUN NIKAH

            Diantara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.

a.      Syarat mempelai pria :
•    Beragama Islam
•    Tidak ada paksaan
•    Tidak beristeri empat orang
•    Bukan mahram mempelai wanita
•    Tidak memiliki isteri yang haram dimadu dengan calon mempelai wanita
•    Calon isteri tidak haram dinikahi
•    Tidak sedang ihram haji atau umrah
•    Cakap melakukan hokum rumah tangga
•    Tidak ada halangan pernikahan

b.     Syarat mempelai wanita :
•    Wanita (bukan banci)
•    Beragama islam
•    Memberi ijin kepada wali untuk dinikahkan
•    Tidak bersuami atau dalam masa iddah
•    Bukan mahram mempelai pria
•    Belum pernah di li’an oleh calon suami
•    Jelas orangnya
•    Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
•    Tidak ada halangan pernikahan

Ijab yaitu suatu pernyataan berupa penyerahan diri seorang wali perempuan atau wakilnya kepada seorang laki-laki dengan kata-kata tertentu maupun syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syara’.Adapun syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir).Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah.
Qabul yaitu suatu pernyataan penerimaan oleh pihak laki-laki terhadap pernyataan wali perempuan atau wakilnya sebagaimana yang disebut di atas.
Ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul sebagai rukun perkawinan. Untuk sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa  syarat. Diantara syarat yang telah disepakati oleh ulama adalah sebagai berikut :
1)      Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Seperti ucapan wali pengantin perempuan: “saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al-quran”. Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki. Seperti ucapan mempelai laki-laki: “saya terima nikahnya anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al-quran.
2)      Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.
3)      Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
4)      Ijab dan qabul tidak boleh menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masaberlangsungnya perkawinan, karena perkawinan ditujukan untuk selama hidup.
5)      Ijab dan qabul harus menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang. Tidak boleh menggunakan ucapan sindiran, karena untuk penggunaan lafaz sindiran itu diperlukan niat, sedangkan saksi yang hadir dalam perkawinan itu tidak akan dapat mengetahui apa yang diniatkan oleh seseorang.

karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَنِكَاحَإِلاَّبِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albanirahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839)
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih.Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya.

            a. Definisi Wali Nikah           
Yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditetapkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip.
Dalam akad  perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai oarng yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.

            b. Susunan Wali
Tidak ada dalil yang menyebutkan siapa yang paling berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuan.Para ulama ada yang bersepakat dan ada pula yang berselisih berkaitan dengan siapa yang paling dekat dengan anak perempuan tersebut dikarenakan tidak adanya dalil yang merincikannya. Allah berfirman :
آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا
Artinya :"(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu." (QS An-Nisa : 11)
Pendapat yang paling kuat -wallahu a'lam- yaitu yang mengatakan bahwa ayah kandung perempuan tersebut adalah orang yang paling berhak menjadi wali bagi anaknya, kemudian setelah ayah adalah kakek dari ayah tersebut. beginilah dalam madzhab Syafi'i, Hambali dan riwayat dari Imam Malik.
Adapun setelah ayah dan kakek adalah anak-anak laki-laki perempuan tersebut, kemudian anak laki-laki dari anak-anaknya jika ada, kemudian saudara-saudara laki-laki se-ayah dan se-ibu, kemudian saudara-saudara laki-laki se-ayah, kemudian anak laki-laki dari saudaranya se-ayah dan se-ibu, kemudian anak laki-laki dari saudaranya se-ayah, kemudian paman-pamannya (dari ayah), dan kemudian anak laki-laki dari pamannya.
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah urutan kerabat yang berhak menjadi wali nikah bagi perempuan :
1.      Ayah kandung.
2.      Kakek (dari ayah).
3.      Anak laki-laki (perempuan tersebut).
4.      Anak laki-laki dari anak laki-lakinya (cucu perempuan tersebut).
5.      Saudara laki-laki se-bapak dan se-ibu.
6.      Anak laki-laki dari saudara se-bapak dan se-ibu.
7.      Saudara laki-laki se-bapak.
8.      Anak laki-laki dari saudara se-bapak.
9.      Paman (dari ayah).
10.  Anak laki-laki dari paman.
11.  Hakim.
            c. Macam- Macam Wali dalam Islam          
1. Wali Nasab.           
            Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai perempuan. Wali mujbir yaitu wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya untuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta izin kepada wanita yang bersangkutan, hak yang di miliki oleh mujbir di sebut dengan hak ijbar. Wali yang memiliki hak ijbar ini menurut imam syafi'ie hanya ayah, kakek dan seterusnya keatas.
Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-quran tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yang berhak menjadi wali. Jumhur ulama membaginya menjadi dua kelompok:
Pertama: wali dekat (wali qarib), yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya.
Kedua: wali jauh (wali ab’ad), yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:
                                                           
a)      Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
b)      Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
c)      Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
d)      Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
e)      Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
f)       Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada.
g)      Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada.
h)      Anak paman seayah,
i)        Ahli waris kerabat lainya kalau ada.




2. Wali Hakim
Wali hakim adalah wali nikah yang di tunjuk oleh mentri agama / pejabat yang di tunjuk olehnya, yang di beri hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah, tetapi wewengan wali nasab berpindah ketangan wali hakim apabila;
a.         ada pertentangan di antara para wali itu
b.         Bilamana wali nasab tidak ada atau ada tetapi tidak mungkin mengadirkannya, atau tidak di ketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal/enggan. Wali adlal adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang telah baligh dan berakal dengan seorang laki-laki pilihannya.
Syari'at islam menetapkan adanynya wali hakim ini adalah untuk menghadirkan kesukaran pelaksanaan suatu pernikahan, sedangkan pernikahan itu meurpakan kebutuhan dan pelaksanaan pernikahan itu adalah wajar karena wanita itu ingin di nikahkan kepada seoarang laki-laki yang sepadan dan sanggup membanyar mahar mitsil, sedangkan wali nasab tidak ada, atau tidak mau menikahkannya , apabila kedua calon mempelai tidak mau menunda pernikahannya sampai ada wali nasab, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali nikah, sebab ada hadits yang isinya tidak dapat menunda masalah nikah ini manakala sudah wajar.

            d. Syarat-syarat Wali           
      Orang-orang yang berhak menempati kedudukan wali itu harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.      Sudah dewasa (baligh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau oarang gila tidak berhak menjadi wali.
b.      Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali.
c.       Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim.
d.      Orang merdeka.
e.      Tidak berada dalam pengampunan atau mahjur alaih. Alasanya ialah bahwa orang yang berada di bawah pengampunan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Kedudukanya sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum.
f.        Tidak sedang melakukan ihram.
g.      Berpikiran baik. Oarang yang terganggu pikiranya karena ketuaannya tidak boleh menjadi wali, karena dikawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.
      Jumhur ulama mempersyaratkan urutan orang yang berhak menjadi wali dalam arti selama masih ada wali nasab, wali hakim tidak dapat menjadi wali dan selama wali nasab yang lebih dekat masih ada maka wali yang lebih jauh tidak dapat menjadi wali.
Pada dasarnya yang menjadi wali itu adalah wali nasab yang qaarib. Bila wali qarib tersebut tidak memenuhi syarat baligh, berakal, islam, merdeka, berpikiran baik dan adil, maka perwalian berpindah kepada wali ab’ad menurut urutan di atas.

     Saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan.Oleh karena itu, tidak
semua orang dapat diterima menjadi saksi, tetapi hendaklah orang-orang yang memiliki
beberapa sifat berikut :
1.      Islam
2.      Baligh (sudah berumur sedikitnya 15 tahun)
3.      Berakal
4.      Merdeka
5.      Laki-laki, karena tersebut dalam hadist Ibnu Majah dan Daruqutni
6.      Adil

            Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Saksi dalam pernikahan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a)   Saksi harus berjumlah paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama.
b)  Kedua saksi itu beragama islam.
c)   Kedua orang saksi adalah orang yang merdeka.
d)  Kedua saksi itu adalah orang laki-laki.
e)   Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah (sopan santun).

f)   Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar